picture from Tumblr |
"Jangan remehkan kekuatan seorang perempuan untuk mempertahankan pria-nya! Jangan abaikan kekuatan seorang perempuan melampiaskan rasa terlukanya"
-LajangdanMenikah-
Membaca kalimat itu, saya lansung saha seperti merasa dejavu. Merasa oernah mengalaminya di masa lalu saya. Dan memang saya pernah. Setahun yang lalu.
Namanya UNO. Awalnya hubungan kami memang tidak baik-baik. Dia sudah menjadi pacar orang lain, dan saya juga begitu. Tapi itulah masalahnya, saat masalah datang menerpa hubungan kami (dia dengan pasangannya, dan saya dengan pasanganku) mungkin niat kami cuma ingin sekedar merefresh kan hati dan pikiran, tapi entah kanapa kami justru terjebak. Saling merasa nyaman. Mungkin karna kami memang sedang merasa sakit, jadinya saling menguatkan dan saling melengkapi kebahagiaan.
Singkat kata, dia dan wanita itu putus. Tapi tidak dengan hubunganku dengan pasanganku (waktu itu). Akulah yang menjadi teman ceritanya, teman yang menghiburnya, dan teman yang selalu mengingatkannya untuk terus move on. Yah, hanya teman.
Perlahan tapi pasti, hubungan kami semakin intens. Kami memang sudah berbulan-bulan berkenalan, tapi cuma sebatas sms, telpon, dunia maya, tidak pernah sekalipun bertemu. Kami masih tinggal dalam kota yang sama, tapi dia tergolong anak rumahan yang senang berdiam diri di rumah kalau tidak sedang kuliah, dan saya juga tidak akan mau mendatangainya. Harga diriku masih terlalu tinggi untuk siapapun.
Kisahku dengan pasanganku akhirnya berakhir, permasalahannya karna rasa nyaman antara kami berdua memang sudah tidak ada. Lebih tepatnya rasa bersalahku padanya terlalu besar. Saya sadar, hubunganku dengan UNO hanya akan membuat dia semakin sakit, jadi lebih baik mengakhiri secepat mungkin.
Hari, minggu, bulan berlalu. Saya dan Uno masih menjadi teman. Sampai suatu ketika kami memutuskan untuk tidak lagi menjadi teman. Tapi kekasih.
Awalnya hubungan kami baik-baik saja, saya masih dengan kesibukanku dan dia juga seperti itu. Saat di umur 3 bulan kebersamaan kami, barulah kami memutuskan untuk bertemu. Itupun hanya keluar makan siang, sebentar sekali sebenarnya.Tapi kupikir, toh kami masih punya banyak waktu dilain kesempatan, jadi tidak apa. Hubungan kami cuma bertahan 8 bulan saja, dan dalam waktu itu kami cuma bertemu 5x. Itupun sebatas mengantarku pulang kalau aku sedang berada disekitar rumahnya.
Kami berakhir juga engan tidak baik-baik. Sialnya dia menghadirkan wanita lain. Entah dari mana datangnya wanita itu, tiba-tiba saja kulihat beberapa panggilan "ayah" di wall Uno darinya. Shit! Saya saja yang menjadi pacar resminya tidak pernah semesra itu.
Aku sudah berbicara baik-baik dengan mereka berdua. Aku juga mencoba memberi pengertian kepada wanita itu, dan syukurlah dia mengerti bagaimana jika ada dalam posisiku. Lebih tepatnya pura-pura mengerti. Toh pada akhirnya mereka masih saja saling berhubungan, telpon-telponan, smsan. Padahal wanita itu sudah kuanggap adikku sendiri, tapi begini dia membalasnya. hiks.
Aku tidak tahan. Bukan karna aku masih menyayangi Uno. Bukan. Rasa sayang yang ada padanya sudah hilang sejak aku tahu dia berkhianat. Mereka tidak boleh berbahagia diatas sedihku, rutukku waktu itu.
Aku dan wanita itu tidak lagi menjadi adik-kakak. Kami bermusuhan. Dia menerorku dengan semua kata-kata kotor yang dia punya, dan saya membalasnya dengan kata-kata yang lebih halus tapi menusuk.
"Salahmu karna punya pacar tapi gak bisa menjaganya"
"Dia bukan anak-anak lagi yang harus dijaga, dia sudah dewasa. Seharusnya dia mengerti mana wanita baik-baik dan mana wanita perusak"
Waktu itu semua teman-temanku dan teman-teman Uno berada dibelakangku, jadi tidak mengapa pikirku. Tapi kata-katanya memang ada benarnya, aku yang mungkin terlalu sibuk dengan duniaku, sampai tidak terlalu memperhatikan hubungan kami.
Lama kelamaan Uno mulai tidak nyaman dengan kekanak-kanakan kami berdua (aku dan wanita itu). Bagaimana mungkin dia bisa nyaman, kalau tiap saat wanita itu mengadu tentang teror-terorku padanya, emlebih-lebihkan dan mendramatisisr. Dasar nenek sihir! Dan Uno memang terjerat omongannya, dia mulai menyalahkan saya yang terlalu kasar katanya. Hei! Saya tidak pernah berbicara kotor sepertinya, saya tidak pernah mengatai dia yang bukan-bukan. Dianya saja yang selalu melebih-lebihkan.
Tidak tahan. Amat sangat tidak tahan dan akhirnya kami putus. 3 hari kemudian dia mengabarkan kalau sudah jadian dengan wanita itu. Aku murka. Tidak terima, dan sialnya aku cuma bisa menangis dan memberi selamat.
Aku teramat jengkel. Merasa harga diriku sudah tercoreng. Ini bukan lagi permasalahan siapa yang merebut siapa, tapi permasalahan kepercayaan yang kuberikan tidak lagi dijaga baik-baik.
Seandainya saja aku percaya karma, mungkin saat itu aku akan berpikiran bahwa hal yang menimpaku itu karma, dan diam-diam, hati saya mengaminkan jika mereka nanti mendapatkan karmanya masing-masing.
Aku tidak akan membalas dendam, tidak akan lagi menyalahkan siapa-siapa. Toh bukankah hubunganku dengan UNO memang awalnya sudah tidak baik?
Anyway,
ini sudah setahun lebih sejak kejadian itu. Sekarang saya dan Uno masih berteman, meskipun bertemannya sudah tidak seperti dulu, tapi setidaknya sesekali kami masih bertukaran kabar. Dan wanita itu... mereka masih berpacaran.
Semoga cepat putus yah. Amin.
Hehehehe
:p